Kutatap layar handphoneku. Masih sama. Kosong. Jantungku berdetak tak karuan. Gema ada di mana sekarang, kenapa tak kunjung datang? Belasan pesan singkat yang aku kirimkan kepadanya tak kunjung ada balasan. Pikiranku melompat jauh kemana-mana. Rasa gelisah yang berlebihan mulai datang, namun segera kutampis. Aku tak boleh berlebihan, itu pesan Gema kepadaku. Aku terus menunggunya sampai beberapa saat di depan sekolah. Awan gelap mulai menyelimuti, dan hujan deras pun turun. Tubuhku kini telah basah kuyup bermandikan air hujan. Kurapatkan tanganku, mengusap-usapnya agar tetap hangat. Satu jam berlalu setelah hujan ini, namun Gema tak kunjung datang. Mungkin dia memang tidak akan datang. Kuputuskan untuk pulang ke rumah dengan jalan kaki. Cukup jauh memang jarak rumahku dengan sekolah, kira-kira 2 km. Aku tak bisa memilih jalan lain selain jalan kaki, karena di rumah tidak ada kendaraan. Naik angkutan umum juga sudah tidak ada jika sesore ini. Di tengah perjalanan aku terus memikirkannya. Gema yang sekarang bukan Gema yang aku kenal dulu. Dia berubah, benar-benar telah berubah.
Gema yang dulu penuh kasih sayang dan perhatian. Gema yang selalu sabar menghadapiku dan tak pernah bisa jauh dariku, tapi kini semua berkebalikan 180 derajat. Semua itu terjadi semenjak kita berada di sekolah yang berbeda. Dia berubah semenjak semua yang dia mau bisa dia dapatkan. Jadi pengurus OSIS, punya band, tenar di sekolah dan bahkan dia punya banyak penggemar. Sempat muncul rasa benciku pada sekolahnya, tapi kurasa itu tak perlu. Hal itu tak akan merubah Gema yang ada sekarang, menjadi Gema yang dulu lagi. Tanpa terasa tetesan air mata berlinangan melewati pipiku. Ini sudah kesekian kalinya dia membuatku menangis, lagi. Kini aku telah sampai di rumah, rumahku yang sederhana. Jelas berbeda jauh dengan rumah yang Gema miliki. Dia punya segalanya, sedang aku sebaliknya. Hal itu sering membuatku merasa terpinggir. Malu dengan para penggemarnya. Bukan malu karena kehidupanku yang sederhana, tapi malu karena aku berani menjadi pacarnya Gema. Mereka justru lebih pantas dengan Gema. Hinaan dan cacian sering kudengar keluar dari mereka-mereka yang menyukai Gema. Tapi aku bisa apa? Kenyataan memang seperti itu, aku gadis biasa, tak punya apa-apa yang bisa membuat Gema bahagia, selain rasa sayang yang tulus yang aku punya. Kumasuki kamar, mandi dan berganti pakaian. Kepalaku kini terasa berat, mungkin karena terlalu lama tersiram hujan. Aku masih mencoba melihat handphoneku, tapi tetap masih sama, kosong. Jika aku bisa marah, hari ini aku pasti akan marah, tapi tidak, aku tidak bisa. Aku harus mengalah. Lebih baik aku sendiri yang sakit, daripada aku harus melihat orang yang aku sayangi tersakiti. Kupikir lebih baik aku tidur, mungkin ketika aku bangun nanti, akan ada pesan singkat dari Gema. Aku terlelap tidur. Dalam tidurku, aku memimpikannya. Bermimpi tentang saat-saat bahagia kita sewaktu dulu, semua indah, rasanya aku tak ingin bangun. Minggu pagi yang cerah. Cahaya matahari menyambutku dengan lembut. Ku ambil handphoneku. Hasilnya nihil. Gema masih tetap tidak membalas pesanku. Sekarang aku coba menghubunginya. Terdengar nada sambung. Dari sisi sana terdengar suara yang aku nanti-nantikan sejak kemarin.
"Halo? Ada apa? Ngapain pagi-pagi gini telepon?" jawab Gema dari ujung telepon sana. Sepertinya dia baru saja bangun tidur. Suaranya terdengar malas, mungkin aku mengganggu.
"Halo. Maaf ya kalo aku ganggu. Kamu kemarin kemana? Aku nungguin kamu di sekolah." jawabku lirih.
"Iya ganggu banget. Aku tu masih capek malah kamu telepon pagi-pagi. Aku kemarin ada acara latihan band di sekolah. Aku nggak punya pulsa buat bales SMS-mu." ujarnya dengan nada marah.
"Maafin aku ya, aku nggak bermaksud gitu. Tolong jangan marah, aku cuma kawatir sama kamu. Takut ada apa-apa. Aku pengin ketemu kamu, boleh ya nanti aku ke rumahmu." pintaku padanya. Suaraku kini sedikit parau. Aku menahan tangis yang sedari tadi ingin keluar. Tapi aku tak boleh menangis. Tangisan tak kan membuat apa-apa berubah menjadi lebih baik.
"Terserah kamu lah, aku capek, pusing tau! Aku tu lagi demam malah kamu tambah-tambahin, dasar! Udah ah, aku mau tidur lagi. Jangan telepon-telepon terus!" jawab Gema. Kali ini suaranya benar-benar keras. Dia membentakku lalu menutup teleponnya dengan kasar.
Aku memang selalu salah dihadapannya, tak pernah benar. Aku telah melakukan semua yang aku bisa untukknya, tapi tak pernah dia peduli. Hati ini memang sakit, namun aku terlampau menyayanginya. Hubungan kami ini sudah berjalan 5 tahun, terlalu berat untukku menghapus perasaan yang menghinggapi jiwaku. Aku memilih untuk mengalah.
Jam berdetak menunjukkan pukul 10.00 a.m. Ku kemas masakan yang telah aku buat dan obat-obatan seadanya untuk kubawa ke rumah Gema. Kukayuh sepedaku perlahan sambil sesekali menyeka keringat. Sebenarnya tubuhku belum pulih total karena guyuran hujan kemarin. Kepalaku masih pening dan terkadang mataku sedikit kabur, namun sepeda tetap ku kayuh. Aku harus segera sampai ke rumah Gema dan merawatnya. Semoga dia senang dengan kehadiranku.
Akhirnya aku sampai di rumah Gema, rumah besar bertingkat berwarna krem. Kulihat sudah ada 2 motor terparkir di sana. Tapi kurasa itu bukan motor orang tuanya, karena jam-jam ini orang tuanya pasti sedang kerja. Dari luar aku mendengar suara tawa perempuan dan laki-laki yang berada di rumahnya.Sedikit kuintip pintu rumahnya, benar ada seorang perempuan dan tiga orang laki-laki termasuk Gema sedang bercanda gurau. Gema terlihat sangat sehat. Aku tak berani masuk. Kukirim sebuah pesan singkat untuk Gema. Dari luar sini aku aku melihat Gema membuka handphonenya lalu meletakkannya begitu saja, entah di buka atau tidak pesan dariku. Lama aku menunggu di luar namun Gema tak kunjung membuka kan pintu. Kucoba untuk muncul di depan gerbangnya "Ehm" hanya suara itu yang berhasil keluar dari mulutku. Entah apa yang Gema katakan pada teman-temannya, kini mereka menatapku sambil tertawa. Seperti aku ini adalah badut bahan tertawaan mereka. Di situ hatiku begitu hancur. Air mata hampir saja berlinang di wajahku namun segera kuhapus. Aku berbalik dan segera bergegas pergi. Tiba-tiba Gema datang menepuk pundakku dari belakang.
"Hei mau kemana kok buru-buru? Jangan malu-maluin gitu ah, ada teman-temanku tu. Kalo mau masuk, masuk aja." ujar Gema, masih dengan tawanya yang penuh penghinaan bagiku. Kata-katanya menyakitkan.
Aku berbalik dan kubuang tangannya yang menempel di pundakku. "Kamu nggak punya perasaan, kamu jahat! Aku nggak nyangka kamu bisa jadi setega ini. Dari tadi aku nunggu kamu, tapi malah tawaan penuh hina yang kamu kasih ke aku. Puas kamu?!" jawabku marah.
Kini air mata berlinang bebas membasahi wajahku. Gema diam melihatku seperti itu. Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya. Begitu juga teman-temannya, hanya melihatku dan Gema.
"Kamu pikir yang selama ini aku lakuin buat kamu itu apa? Aku tahan semua sakit hati yang kamu kasih, tapi ini balasan kamu? Kamu nggak tahu kan rasanya jadi aku? COBA KAMU JADI AKU! Mungkin kamu bakalan milih buat bunuh diri. Kemarin aku menunggumu sampai kehujanan, tapi kamu nggak sedikit pun ngrasa bersalah kan, apa lagi peduli! Aku tau aku ini emang perempuan bodoh yang mau-maunya kamu sakiti dan nggak berbuat apa-apa. Aku emang cuma bisa buat kamu malu. Selama ini kamu cuma anggep aku sampah kan! Aku emang cuma perempuan biasa yang nggak punya apa-apa buat aku kasih kekamu. Tapi asal kamu tahu, aku punya cinta dan sayang yang tulus buat kamu yang nggak semua orang bisa nglakuinnya. Sekarang lebih baik kita akhiri saja semuanya sampai di sini, itu kan maumu selama ini?! Aku udah capek jadi robotmu, capek jadi orang bodoh. Makasih buat sakit hati yang selama ini kamu kasih ke aku. Semoga suatu saat Tuhan ngajarin kamu biar tau gimana rasanya jadi aku, biar kamu bisa lebih ngehargain orang yang tulus sayang sama kamu." tambahku.
Amarahku benar-benar tidak bisa terbendung lagi. Sakit yang aku rasakan selama ini telah memuncak. Aku bergegas pergi, lari sekencang yang aku bisa. Kujatuhkan sepeda yang sedari tadi kupegangi. Makanan dan obat-obatan yang sudah aku siapkan untuk Gema jatuh berserakan. Kudengar dari belakang Gema memanggil-manggil namaku, dia mengejarku, namun tak ku pedulikan.
Gema yang sudah tidak bisa mengejarku lagi, kembali menuju makanan dan obat-obatan yang telah berserakan. Dia sadar bahwa selama ini apa yang dia lakukan padaku salah. Dia menangis, menyesali perbuatannya.
Setelah kejadian itu, aku mengisi hari-hariku dengan hal yang lebih bermanfaat. Aku aktif mengikuti kegiatan di sekolah. Waktuku bahkan hampir habis untuk sekolah. Aku kini menjadi pengurus OSIS, mengikuti berbagai ekstra dan lomba yang ada. Tidak hanya dalam kegiatan, prestasiku kini juga semakin gemilang. Aku mendapat beasiswa untuk bersekolah di salah satu universitas luar negeri. Semua ini berkat dukungan keluarga dan teman-teman. Akhirnya aku bisa terbebas dari keterpurukanku selama ini. Aku bisa membuktikan kepada Gema, kepada penggemar-penggemarnya yang dulu sering mencaciku, dan kepada semua orang bahwa aku bisa menjadi yang terbaik. Harusnya dari dulu aku seperti ini daripada hanya menyiksa perasaanku sendiri dan menjaga perasaan seseorang yang sama sekali tak peduli padaku.
Gema sekarang menjadi sering menghubungiku, dia selalu meminta maaf padaku. Dia mengajakku untuk menjadi pacarnya lagi, namun kurasa tidak lagi, semua itu sudah cukup. Aku ingin Gema bisa menjadi orang yang lebih bisa menghargai orang lain.
Amanat : Ingat, penyesalan tak mungkin ada di awal, tapi akan selalu berada di akhir. Jagalah apa yang saat ini kamu punya. Jangan pernah menyia-nyiakan orang lain yang secara tulus ada dan hadir untukmu. Belajarlah untuk menghargai orang lain jika dirimu ingin di hargai.
~THE END~
Salam sayang,
0 komentar:
Posting Komentar