Kamis pagi di Cafe Bintang. Aku duduk termenung sendirian menatap rintik hujan yang sedari tadi tak kunjung berhenti. Kutatap awan mendung kelabu itu, di ujung sana nampaknya ada pemandangan indah, sesuatu yang aku nanti-nantikan. Pelangi. Aku sangat suka pelangi. Bisa dibilang aku Pelangi Lovers (sebutan yang kubuat untuk pecinta pelangi). Bagiku pelangi membawa ketenangan jiwa. Warnanya yang beraneka ragam layaknya hidup ini, penuh warna. Ada yang berwarna terang, adapula yang berwarna gelap. Tak aku sia-sia kan kesempatan ini. Sudah sekian lama aku tidak melihat pelangi kesukaanku itu karena musim panas yang terjadi. Bergegas aku keluar cafe agar dapat melihat pelangi itu lebih jelas. Tanpa mempedulikan sekitar, aku berlari, hingga akhirnya tanpa sengaja aku menabrak seseorang dan jatuh bersamaan. Sebuah serpihan kaca terlihat berserakan di lantai yang ternyata berasal dari lensa kacamata minus. Sosok yang aku tabrak itu nampak langsung berdiri dan tanpa dikira ia mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri. Mataku beradu dengannya. Mata itu begitu tajam memandang. Badannya tinggi dan kulitnya putih bersih, laki-laki ini benar-benar tampan. Aku sempat dibuat terpana olehnya, sejenak, lalu aku sadar kembali dan memunguti serpihan kaca yang berserakan tadi sambil meminta maaf pada laki-laki itu.
Tanpa ekspresi marah sedikit pun laki-laki itu membantuku memunguti serpihan kacanya, ia tersenyum, begitu manis. Nampak lesung pipi di pipi kanannya. Ia mengulurkan tangannya dan berkata "Namaku Arsa" dengan begitu lembut. Aku menatap laki-laki itu dengan heran. Kubalas dengan mengulurkan tanganku dan menjabat tanganya, "Aku Prishil".
"Sudah tidak perlu dipunguti lagi" katanya padaku sambil berdiri.
"Maaf aku tidak sengaja, berapa yang harus kubayar untuk mengganti kacamatamu ini?" jawabku penuh penyesalan.
"Tidak perlu, aku tak terlalu butuh kacamata itu. Sudah lupakan saja, tak apa." kata Arsa, masih dengan lekukan senyum bibirnya yang begitu indah.
"Tidak bisa, aku tidak mau memiliki hutang. Tolong biarkan aku mengganti kacamata itu." jawabku masih tak tenang.
"Okelah kalau kamu memaksa. Tapi tak perlu dengan mengganti kacamataku. Bagaimana kalau kau temani aku sebentar saja duduk di cafe itu? " pinta Arsa sembari menunjuk cafe yang berada di belakang mereka.
"Maksudmu? Kau kira aku ini perempuan apa!" cetusku marah, merasa direndahkan.
"Bukan, bukan itu maksudku. Maaf, tapi aku hanya sedang butuh teman. Aku orang baru di kota ini, bisa kamu bantu aku mengenal kota ini?" jawab Arsa, kata-katanya begitu nyata, dapat dipercaya.
"Oh begitu, maaf telah salah mengira. Baiklah, aku akan membantumu memberi informasi tentang kota ini." jawabku teringat tentang hutang tadi.
"Tidak masalah. Terimakasih." ujar Arsa. Ia berjalan menuju Cafe Bintang, yang tadi telah kusinggahi sebelumnya.
Aku mengikuti langkah Arsa dan masuk ke Cafe Bintang. Arsa memilih meja yang terdiri dari dua kursi berhadapan. Ia memanggil pelayan dan memesan beberapa hidangan serta minuman. Tak lupa ia menawarkan list padaku, namun aku hanya memesan sebuah Hot Chocolate karena masih merasa kenyang. Jujur dalam hati, aku masih merasa bingung dengan Arsa. Kutatap Arsa sekali lagi dari atas hingga bawah, physically perfect. Hanya saja, sikapnya terlalu aneh. Dengan orang yang baru saja ia kenal ia bisa begitu ramah. Sempat terpikir olehku jangan-jangan Arsa playboy, namun dari wajahnya tidak nampak begitu, entahlah.
"Jadi di sini tempat wisata paling bagus dimana?" tanya Arsa memulai pembicaraan.
"Masak kamu tidak tahu tempat-tempat wisata di sini? Bali kan sangat terkenal, bahkan hingga luar negeri. Setidaknya walaupun kamu warga baru tapi berita di luar santer terdengar kan tentang kota ini?" tanyaku keheranan.
"Ya memang, tapi aku belum pernah mengunjunginya secara langsung. Aku hanya ingin tahu tempat yang paling bagus untuk dikunjungi di sini, terutama yang menyuguhkan wisata alam yang indah." jawabnya tenang. Matanya tak pernah lepas memandangku.
"Oh. Menurutku tempat yang paling bagus untuk dikunjungi ya Bedugul. Di sana pemandangannya sangat indah. Pernah dengar nama Bedugul?" tanyaku lagi, mungkin saja dia tidak tahu.
"Iya aku tahu, tapi dimana letaknya?"
"Di Desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti, Tabanan. Sekitar 1 jam lebih 10 menit dari Bandara Ngurah Rai. Memang kamu pindahan dari kota mana?" tanyaku lagi.
"Lumayan, boleh dicoba. Sebenarnya aku asli Surabaya, tapi lama tinggal di Singapura. Di sini sebenarnya aku hanya ingin berlibur saja." jawab Arsa menatapku dengan tatapan berbeda kali ini.
"Wow fine. Kamu tidak akan menyesal berlibur di sini, banyak tempat-tempat yang indah dan menarik. Selain Bedugul, ada GWK atau Garuda Wisnu Kencana dan Pantai Kuta Bali yang pastinya paling terkenal. Di sana kamu bisa surfing dan melihat sunset. Kamu tinggal pilih saja mau kemana." jelasku panjang lebar.
"Kalau begitu, kamu mau menemaniku ke sana? Aku bingung harus kesana dengan siapa. Malas menyewa guide. Kamu tidak sedang bekerja kan di sini?"
Aku tercengang, mataku terbelalak, lalu aku berkata, "What, aku? Kenapa harus aku? Tidak, aku di sini juga berlibur sekalian disuruh menunggu rumah tanteku yang sedang pergi ke Amerika. Aku juga asli Surabaya."
"Aku merasa cocok denganmu. Kupikir lebih enak pergi wisata dengan orang yang sudah kita kenal langsung daripada dengan guide." tuturnya.
Apa dia bilang? Cocok denganku, padahal kami baru saja bertemu. Orang aneh. "Apa dengan menemanimu hutangku akan kamu anggap lunas?" tanyaku.
"Ya tentu saja, bagaimana?" tawar Arsa. Dia sepertinya menunggu jawabanku.
"Oke. Sabtu pagi jam 7, aku tunggu di bandara."
"Kenapa di bandara? Tidak dari rumah tantemu saja?"
"Kurasa terlalu jauh."
"Oke, fine."
Dan perbincangan kami selesei disusul makanan dan minuman yang datang. Setelah semua hidangan habis, aku pamit pulang pada Arsa. Dia sempat menawariku untuk pulang bersama namun ku tolak. Masih sama, ekspresinya menyenangkan, tak terlihat tanda kecewa. Dia pun masuk ke mobil Jazz merah yang terparkir di depan cafe. Mobil itu melaju perlahan, menjauh dan lama-lama hilang ditelan jalanan. Aku merasa ada sesuatu yang telah aku lewatkan. Ah, pelangiku! Gara-gara menemani Arsa bicara aku jadi lupa melewatkan momen indah bersama pelangi, dan sekarang pelanginya sudah lenyap. Hari sudah terang kembali. Sudahlah, lain kali pasti ada pelangi lagi. Ku hentikan Taxi yang berjalan ke arahku dan aku pulang.
Guratan awan sirus bergerak di lautan langit. Matahari pun sudah membumbung menuju singgasananya, memancarkan sinarnya yang masih redup. Kubuka mataku, ah ternyata sudah pagi. Kulihat kalender yang bergelantung di tembok, nampaknya ada tanda hijau yang melingkar di hari Sabtu. Ah iya, hari ini hari Sabtu dan aku ada janji dengan Arsa. Bergegas aku mandi, berganti pakaian dan sedikit memoles wajahku, ya walaupun hanya dengan bedak tipis. Lalu rambutku hanya kuikat seperti biasa. Segera aku menuju bandara dengan sepeda. Rumah tanteku yang terletak di Jalan Tukad Badung Gang XII Renon ini memang tak terlalu jauh jaraknya dengan bandara. Setelah sampai kutitipkan sepedaku di salah satu tempat penitipan sepeda. Tak lama kemudian, mobil Jazz merah melaju dan semakin mendekat ke arahku. Itu mobil Arsa. Arsa berhenti tapat di sebelahku, menyapaku lalu mempersilahkan aku untuk duduk di kursi depan bersebelahan dengannya. Kami akan mengunjungi tiga tempat wisata, yaitu GWK, Bedugul dan Pantai Kuta. Karena rencana kami hari ini adalah untuk santai-santai dan liburan jadi kami tidak terlalu peduli dengan jalan bolak-balik yang akan kami tempuh nanti. Pertama karena masih pagi kami menuju ke GWK, letaknya di Bukit Unggasan - Jimbaran hanya 20 menit dari bandara. Setelah melewati Jalan Uluwatu sampailah kami di Kawasan GWK. Kami langsung disambut oleh patung raksasa berwujud Dewa Wisnu yang dirancang oleh seniman Bali, I Nyoman Nuarta. Selain itu juga ada Patung Garuda yang tak kalah besar. Aku langsung berlari menuju patung-patung itu. Arsa mengikutiku dari belakang. Di sini kami berjalan-jalan ria sambil mengobrol, aku juga sempat menceritakan sedikit sejarah tentang Patung GWK ini, ya sepanjang sepengetahuanku saja. Maklumlah aku bukan asli orang Bali, hanya saja aku sudah sering datang kemari untuk berlibur. Saat sedang berjalan-jalan, tiba-tiba Arsa memegang tanganku dan menarikku kesampingnya lalu dia mengeluarkan kameranya dan memfoto kami. Untuk kenang-kenangan katanya. Oke baiklah, kurasa aku sudah mulai merasa nyaman berjalan dengan Arsa. Ternyata dia orang yang asyik untuk diajak bicara, untunglah aku tak salah mempercayai orang. Cukup lama kami berada di sini, kami juga sempat menikmati suguhan Tari Barong Keliling dan Instrument Gamelan Rindik di Plaza Wisnu yang begitu menakjubkan. Tak terasa waktu sudah mulai siang, sudah cukup pula jeprat-jepret foto yang kami lakukan di sini. Selanjutnya dari GWK kami melanjutkan perjalanan menuju Bedugul. Perjalanan kali ini cukup jauh, sekitar 1,5 jam. Sepanjang jalan Arsa banyak mengajakku bicara, tentunya dengan bahasa yang lebih santai tidak seformal sewaktu awal bertemu. Kini kami sudah seperti teman yang akrab sejak lama. Begitu asyiknya mengobrol, 1,5 jam perjalanan seperti tak terasa lama. Kami sudah sampai di Bedugul. Suhu udara di sini lumayan dingin sekitar 18 derajat Celcius, dan aku lupa membawa jaket. Oke lah tak apa masih bisa kutahan. Hamparan Danau Beratan yang indah kini sudah hadir di depan mata. Di tengahnya terdapat Pura Ulun Danu yang berdiri dengan kokoh. Kami berjalan melihat sekeliling betapa indahnya pemandangan yang disuguhkan Bedugul ini. Begitu agungnya Tuhan. Tak puas hanya dengan berjalan-jalan saja, Arsa memilih menyewa sebuah kapal boat untuk mengarungi Danau Beratan ini. Di sepanjang danau terlihat hamparan taman bunga yang sangat indah dan batu-batu seperti gua. Angin berhembus begitu semilir, namun dinginnya udara membuat tubuhku sedikit menggigil. Kuusap-usapkan jemariku supaya hangat. Melihat reaksiku itu, Arsa segera memakaikan jaketnya ke tubuhku. Oh Tuhan, makhluk apa yang Kau ciptakan ini? Mengapa dia bisa begitu baik? Perasaan aneh muncul tanpa permisi di hatiku."Apa mungkin aku menyukai Arsa? Ah tidak, bagaimanapun juga dia adalah orang yang baru kukenal, aku harus berhati-hati. Namun sosok Arsa benar-benar lain. Dia seperti dapat membaca hatiku, mengerti situasiku dan dapat dengan mudah menenangkanku." batinku dalam hati. Lelah setengah hari ini berjalan-jalan terus, Arsa pun mengajakku untuk makan siang di restoran dekat sini. Ketika baru saja kami akan berjalan, tiba-tiba rintik hujan mulai turun dari langit. Makin lama makin deras. Arsa merangkulku, melindungi kepalaku dari derasnya hujan. Kami berlari menuju restoran di seberang untuk berteduh sekaligus melanjutkan ajakan Arsa untuk makan. Untung saja pakaianku tidak terlalu basah. Arsa dan aku duduk di meja bagian pojok. Dari sini kami masih bisa melihat indahnya Danau Beratan di samping sana. Kami memesan beberapa makanan dan minuman. Tak perlu menunggu lama semua yang kami pesan sudah tersaji. Sembari makan Arsa mengajakku mengobrol. Di sela-sela obrolan aku melihat lengkungan pelangi terbentuk begitu cantik di langit sana. Seperti kebiasaanku, bergegas aku keluar restauran, namun belum sempat berlari, tangan Arsa memegang tanganku dan menyuruhku duduk kembali. Entah kenapa aku merasa tidak bisa menolak perkataan Arsa. Dia nampak bingung dengan kelakuanku. Akhirnya aku ceritakan padanya tentang kabiasaanku itu. Tentang kecintaanku pada pelangi. Dia tersenyum, bersama-sama denganku menghadap pelangi itu. Tiba-tiba Arsa berkata padaku "Kelak ketika kita ditinggalkan oleh orang yang kita cinta, dan ada pelangi muncul, maka dalam keadaan sesedih apapun kita harus tersenyum, karena orang yang kita cinta juga tersenyum dibalik pelangi". Aku tertegun. Kutatap wajah Arsa dalam-dalam, kata-katanya penuh makna.
Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan berikutnya ke Pantai Kuta. Langit sore mulai memunculkan tanda-tandanya. Tepat kami sampai di Pantai Kuta, bersamaan dengan sunset yang begitu menakjubkan. Aku dan Arsa duduk bersebelahan sambil menikmati sunset. Pancaran warna orangenya begitu menawan, sungguh suasana yang romantis. Tangan Arsa merangkul pundakku, tanpa disangka ia mengecup dahiku begitu lembut, tanpa perlawanan dariku. Kecupan itu membuatku merasa begitu nyaman, disusul kata-kata yang Arsa ucapkan tanpa keraguan, "Aku menyayangimu, Prishil". Ini semua memang tampak seperti mimpi. Aku dan Arsa, dua orang yang baru bertemu 2 kali dan saling menyukai? Ah tapi apalah artinya pertemuan singkat, hatiku berkata aku menyayanginya juga. Dia benar-benar berbeda. Kami berdua saling berpelukan di depan sunset yang mulai menghilang ditelan kegelapan dan suara deburan ombak yang menenangkan. Hari ini menjadi hari paling indah yang pernah tak kan pernah aku lupakan.
Kulihat kalender diponselku. Hari ini sudah 3 minggu sejak kejadian sore itu di Pantai Kuta, namun kini Arsa justru serasa menghilang. Beberapa kali kucoba mengirim pesan ke ponselnya dan pernah kucoba telepon juga, namun sia-sia. Dia tidak bisa dihubungi, dan tak pernah mencoba menghubungiku. Kemana sebenarnya Arsa? Atau jangan-jangan dia sudah kembali ke Singapura? Apa aku ini hanya wanita mainannya saja yang bisa ia datangi dan tinggalkan sesuka hatinya? Hatiku terasa hancur dan tersakiti. Benar yang sejak awal telah aku pikirkan. Aku tak boleh dengan mudahnya mempercayai orang lain, apalagi orang yang baru saja ku kenal. namun kenapa aku bisa begitu bodoh? Tangisku menyeruak, tetesan air mata mengalir begitu lancarnya. Aku tak menyangka Arsa begitu tega padaku. Kenangan-kenangan saat berlibur bersama waktu itu terungkit kembali, begitu menyesakkan. Tiba-tiba terdengar bunyi ringing dari teleponku. Rupanya ada pesan. Begitu kagetnya aku ketika kudapati isi pesan itu mengatakan bahwa hari ini adalah hari pemakaman Arsa. Pemakaman, apa maksudnya pesan ini? Kucoba selidiki apakah ini pesan iseng atau memang betul terjadi. Segera kukendarai mobil tanteku yang ada di garasi. Pikiranku kacau, semua mustahil. Kini aku sampai di tempat makam. Nampak kerumunan orang berbaju serba hitam menangis sambil memegang nisan dengan tanah yang nampak masih basah. Aku berlari, tak kuat lagi menahan rasa hancur dihatiku. "Arsa Prahiditya Muriga", nama itu terpampang di batu nisan yang sedari tadi ditangisi orang-orang berbaju hitam itu. Tubuhku terkulai lemas, aku jatuh di atas makam Arsa. Tangis membanjiri wajahku. Aku masih tak percaya dengan apa yang ada dihadapanku saat ini. Seorang ibu datang mendekatiku, menyuruhku untuk tabah atas apa yang terjadi. Ibu itu mengeluarkan sebuah amplop dan diberikannya padaku. "Ini Arsa titipkan pada ibu sehari sebelum ia meninggal", kata ibu itu lalu pergi. Semua orang kini telah pergi. Tinggal aku yang tersisa di makam ini. Suara gemuruh yang terdengar tak kuhiraukan. Hujan dengan begitu derasnya membasahi tubuhku dan makam Arsa.
Hatiku menangis, pikiranku tak karuan. "Arsa kenapa kamu jahat? Kenapa kamu tinggalin aku tanpa pamit? Kenapa kamu nggak bilang sama aku kalau kamu sakit? Selama ini aku nunggu kamu, aku pikir kamu nggak sayang aku lagi. Apa salahku, Sa? Arsa aku sayang kamu, kembali, aku pengin liat kamu buat yang terakhir kali." teriakku sambil memukul-mukul makam Arsa. Aku tak kuasa menahan kesedihan ini. Seseorang yang amat ku kasihi pergi meninggalkanku tanpa membiarkanku untuk melihatnya, walau untuk yang terakhir kali. Walau hanya beberapa detik saja. Kini ku kuatkan diriku untuk membuka isi amplop yang ibu tadi serahkan padaku. Perlahan kubuka kertas yang ada di dalamnya, tinta-tinta mulai berlunturan terkenal rintikan air hujan.
Dear My Prishil,
Hai Prishil, apa kabar? Sudah lama ya kita tidak bertemu, aku merindukanmu. Maaf selama ini aku tidak memberimu kabar. Aku harus mempersiapkan diri untuk yang akhirnya terjadi hari ini. Ya, aku tahu, saat kamu baca surat ini, pasti kamu sedang berada di atas makamku, memeluk gundukan tanah yang ada disana. Aku sengaja tidak memberi tahumu tentang penyakit Kanker Darah yang aku alami ini, karena aku tidak mau melihatmu bersedih. Aku ingin kamu bahagia dengan kehidupanmu. Maaf telah lancang memasuki kehidupanmu yang begitu menyenangkan. Terimakasih atas semua kebahagiaan yang kamu berikan untukku. Sisa hidupku terasa lebih indah bersamamu. Saat ini aku hanya ingin kamu berjanji satu hal padaku, "Tersenyumlah di bawah pelangi kesayanganmu itu, karena aku sedang menatapmu dari sana. Percayalah. Aku sayang kamu.
Salam sayang,
Arsa
Kuusap tangis yang membanjiri wajahku. Isi surat itu membuatku menjadi lebih tegar. Nampak pelangi muncul di sebelah selatan. Terlihat berbeda, pelangi itu jauh lebih indah dari biasanya. Aku tahu pasti Arsa sedang berada di sana, menatapku dengan senyuman manis yang selalu terurai dari bibirnya. "Aku menyayangimu Arsa" ucapku pada pelangi sambil tersenyum :)
~THE END~
Salam sayang,
0 komentar:
Posting Komentar