~ Tuhan memang satu, kita yang tak sama ~ Peri Cintaku by Marcell S.
Siang ini hamparan awan biru dengan bercak putihnya nampak menyelimuti angkasa. Matahari menyemburkan sinarnya yang terik ke bumi membuat Mentari menghentikan langkahnya dan duduk di sebuah bangku taman kota. Matanya menatap ke seluruh penjuru taman. Banyak orang yang berlalu lalang di sana. Ada yang berjualan di pinggir taman, ada pegawai kantoran yang menikmati waktu istirahatnya, bahkan ada pula pengemis yang sedang meminta belas kasih orang. Baru dari lingkup kecil saja sudah dapat dilihat bahwa segala yang ada di bumi ini sarat dengan perbedaan. Entah itu perbedaan fisik, sifat, gender, suku, ras ataupun nasib. Orang-orang berdasi tentu nasibnya berbeda dengan pengemis di pinggir jalan. Mereka yang berada di taman itu juga tentunya berasal dari berbagai daerah. Begitu Maha Adil nya Allah, menciptakan perbedaan dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Allah sengaja membentuk dunia ini untuk menampung perbedaan yang ada agar dapat menjadi satu kesatuan.
"Subhanallah." ucap Mentari dalam hati.
Suara adzan dzuhur yang berkumandang menyadarkan Mentari dari lamunannya. Ia bergegas menuju masjid yang berada di seberang jalan untuk menunaikan sholat. Sudah menjadi kewajiban bagi agama Islam, agama yang Mentari yakini untuk selalu beribadah kepada Allah dengan sholat di masjid. Segera Mentari mengambil air wudu dan sholat dzuhur berjamaah.
"Allahuakbar." Mentari mengucapkan takbiratul ihram dan dilanjutkan sholat.
Setelah rakaat keempat, Mentari mengucap salam disusul dengan berdoa. Mukena yang dipakainya kini dilepas dan dilipat dengan rapi. Segera ia keluar masjid dan berencana untuk langsung pulang. Namun ketika sedang berjalan, Mentari seperti melihat seseorang yang ia kenal keluar dari gereja yang berada tidak jauh dari masjid. Ia masih belum yakin dengan apa yang ia lihat sehingga ia ragu untuk memanggil orang itu. Saat sosok itu berjalan makin dekat, barulah Mentari sadar bahwa yang ia lihat adalah Aldi, kekasihnya.
"Aldi...!!" teriak Mentari mencoba memanggil Aldi.
Aldi yang merasa namanya disebut oleh seseorang, mencari sosok yang memanggilnya itu. Ia dekati gadis yang sepertinya ia kenal.
"Tari....?" timpal Aldi dengan raut wajah yang masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat. "Kamu kok bisa ada di Bandung, ngapain?"
"Jenguk saudara sama mama. Kamu sendiri kok bisa sampai sini?" tanya Mentari.
"Iya, ada acara keluarga. Kemarin juga habis ngrayain paskah bareng di sini. Eh kamu udah sholat dzuhur belum?" ujar Aldi sembari melirik ke arah masjid yang berada di belakang mereka.
"Udah baru aja. Habis keluar dari masjid kok aku kayak lihat kamu, eh ternyata emang kamu. Kamu habis sembahyang?" tanya Mentari lagi
"Iya. Eh kita duduk di kafe sebelah yuk, ngobrol dulu. Kamu nggak buru-buru kan?" tanya Aldi. Digenggamnya tangan Mentari dan diajak berjalan menuju ke kafe yang berada di dekat mereka.
"Nggak kok, yuk." jawab Mentari setuju. Ia mengikuti langkah Aldi memasuki kafe. Terlihat senyum merekah bebas dari bibirnya.
Mentari dan Aldi memasuki kafe yang dituju dan memesan beberapa minuman serta makanan. Berhubung kafe ini menyajikan fast food jadi mereka tak perlu menunggu lama hingga hidangan disajikan. Sambil menikmati makanan yang tadi di pesan, Aldi dan Mentari saling bicara.
"Di, maaf banget ya tentang kejadian waktu itu. Aku sebenernya udah malu banget buat ketemu kamu lagi. Aku nggak nyangka mama bakalan sampai kayak gitu." tutur Mentari perlahan. Wajahnya ditundukkan tampak penuh rasa bersalah.
"Udah Ri, nggak usah dipikirin lagi. Aku justru yang takut, bingung, campur aduk. Habis kejadian itu kamu kayak hilang ditelan bumi. Aku hubungin nomer telepon kamu nggak aktif, sms nggak terkirim, mau ke rumahmu takut ngerusak suasana. Makanya aku agak kaget bisa ketemu kamu di sini." cerita Aldi pada Mentari. Ditatapnya lekat-lekat wajah Mentari yang sedari tadi masih menunduk.
Kini Mentari mencoba untuk menatap Aldi. Rasanya air mata sudah hampir menetes dari matanya yang bulat, namun ia segera menahannya. "Maaf Di, aku juga bingung harus gimana. Aku berusaha biar mama nggak nyalah-nyalahin kamu, nggak nyalahin hubungan kita, makanya aku menghindar. Tapi pas lihat ada kamu tadi, aku nggak bisa nahan diriku buat nggak manggil kamu. Aku kangen."
"Emang nggak gampang ngejalanin hubungan semacam yang kita alami ini, Ri. Aku bisa ngerti kenapa mamamu kayak gitu. Aku udah cerita semuanya ke mamaku. Awalnya beliau juga shock, tapi setelah aku kasih pengertian berkali-kali untunglah mamaku bisa ngerti."
"Kenapa si Di, perbedaan agama bisa serumit ini? Kayaknya kok orang-orang tuh pada mandang sebelah mata sama yang namanya cinta beda agama. Bukankah Tuhan kita itu tetap satu, hanya saja setiap orang berbeda cara meyakini dan menyembahnya.
"Iya itu kan anggapan kamu yang masih bisa berpikir logis dan positif dalam menanggapi arti sebuah perbedaan agama. Tapi diluar sana pikiran orang berbeda. Ri. Sebagian orang mungkin aja bisa ngerti, tapi sebagian yang lain justru sangat pedih penolakannya. Ri, kamu percaya sama kekuatan cinta? Tolong jangan tinggalin aku lagi. Kamu mau kan berjuang bareng sama aku buat bikin mamamu ngerti?" tutur Aldi sambil memegang tangan Mentari dengan erat. Ia mengucapkan setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya itu dengan penuh keseriusan.
"Iya aku percaya Di, aku mau berjuang bareng sama kamu. Aku tuh kasihan, aku nggak tega lihat kamu dimarahi habis-habisan sama mama kayak dulu waktu kita ketahuan backsteet. Selain itu aku juga takut sama mama, aku nggak mau bikin mama terluka. Kamu tahu sendiri kan, cuma mama yang aku punya saat ini. Sampai detik ini pun aku masih belum tahu papaku siapa dan ada dimana. Mama nggak pernah mau cerita tentang papa ke aku." jawab Mentari lesu. Ia teringat pada papanya yang entah ada dimana.
"Kamu mau aku bantu cari tahu tentang papamu itu, Ri? Aku siap bantu kamu kapan aja kok."
"Makasih ya Di, kamu ba......"
SRET!!!
Seketika obrolan Mentari dan Aldi terhenti karena tiba-tiba ada wanita yang manarik tangan Mentari. Wanita itu ternyata Lisa, mamanya Mentari. Perasaan penuh amarah terlihat jelas dari ekspresi wajah beliau. Seketika seluruh pengunjung kafe memandang ke arah sumber keributan. Semuanya hanya diam.
"Hei laki-laki tidak tahu diri, ngapain kamu masih mendekati anak saya? Masih kurang jelas apa yang saya katakan waktu itu, haa? Berhenti dekati anak saya dan pergi dari kehidupannya. Agamamu tak pantas bersanding dengan agama keluargaku?!" bentak Lisa.
Sontak Mentari langsung menatap kaget kearah mamanya. Lagi-lagi mamanya mengatakan hal seperti itu. Tapi kali ini berbeda, ini di tempat umum. Tempat yang tak patut untuk mamanya mengatakan hal itu. Mentari menatap wajah Aldi dengan rasa bersalah yang amat besar. Aldi sendiri nampak tegar, walau sebenarnya hatinya seperti tersayat-sayat mendengar perkataan Mamanya Mentari. Apakah agama itu ada tingkatannya? Apakah yang tingkat agamanya rendah tak boleh bersanding dengan yang tingkat agamanya tinggi? Sepertinya Tuhan tidak menciptakan agama dengan tingkatan. semua sama dimata Tuhan. Ini memang bukan yang pertama kali bagi Aldi, setelah 6 bulan yang lalu Mamanya Mentari berhasil mengusir Aldi dari rumah Mentari disertai dengan beribu cacian yang tak kalah menyakitkan dari hari ini. Namun Aldi mencoba tetap tabah.
"Ini demi nama Tuhanku dan cintaku, aku harus kuat." batin Aldi.
Tanpa basa-basi lagi Lisa membawa Mentari, anak semata wayangnya itu keluar kafe meninggalkan Aldi yang berdiri sendirian mematung di sana. Mentari sempat beberapa kali memberontak namun percuma saja, mamanya memang lebih kuat daripada dirinya. Mereka masuk ke dalam mobil Honda City silver yang terparkir di depan kafe. Seketika mobil itu melesat, hilang ditelan jalanan.
***
Sampailah Mentari dan Mamanya di rumah saudara mereka. Berhubung saudara yang memiliki rumah sedang dirawat di rumah sakit jadi rumah itu sepi, hanya ada Mentari dan mamanya. Atmosfir rumah itu berubah menjadi sangat dingin dan kaku, ketakutan dan amarah sedang membaur di sana. Mentari sudah menduga bahwa mamanya pasti akan marah besar padanya. Ia teringat kembali kejadian 6 bulan yang lalu saat ia, mamanya dan Aldi terlibat pertengkaran yang hebat. Jujur saja Mentari merasa sangat ketakutan.
"Harus berapa kali mama bilang, jangan dekati laki-laki itu lagi! Mama kira selama ini kamu sudah menuruti perintah mama dan tidak menjalin hubungan lagi dengan dia. Jangan-jangan kamu masih bersembunyi-sembunyi bertemu dengan dia?" tuduh Lisa pada anaknya. Ia berjalan bolak-balik di depan anaknya yang tertunduk di sofa. Pikirannya kacau balau.
"Nggak ma, aku tadi nggak sengaja ketemu dia. Aku udah berusaha buat nurutin kemauan mama, tapi aku sadar kalau aku nggak bisa ma. Aku sayang banget sama Aldi. Tolong mama ngertiin aku." pinta Mentari pada mamanya. Kesedihan kini sedang bergelayut dipikirannya. Tanpa terasa air mata membasahi kedua pipinya.
"Sayang-sayang, kamu kira sayang saja cukup? Dia itu beda agama sama kita dan mama sangat tidak setuju. " ucap Lisa, masih dengan nada yang tinggi.
"Lalu apa si ma salahnya kalau kita mencintai orang yang berbeda agama dengan kita? Kenapa semua orang memandang perbedaan itu seperti sampah, kenapa ma? Selama aku dan Aldi bersama, kami nggak pernah melanggar norma agama masing-masing. Aldi nggak pernah ngehina agama Tari, begitu juga sebaliknya. Kami saling menghargai ma." bela Mentari, mencoba meyakinkan mamanya.
"Cukup Tari! Mama tidak peduli dengan semua omong kosongmu itu. Agamanya itu tak patut, tak layak bersanding dengan kita. Bagaimana kalau nanti tiba-tiba agamanya menghancurkan agamamu? Masih banyak laki-laki yang se-agama dengan kita, kenapa harus cari yang beda? bentak Lisa kepada anaknya. Ia menatap Mentari dengan iba, namun apa boleh buat. Ia tetap tidak setuju dengan keputusan anaknya itu.
"Karena itu yang namanya cinta ma. Cinta itu nggak mandang dari fisik, umur, harta ataupun agama. Cinta datang dengan sendirinya tanpa kita minta, tanpa dipaksa. Cinta juga membuat perbedaan jauh lebih indah. Tari tahu papa dan mama juga dulu pernah saling mencintai kan walaupun akhirnya berpisah, tapi mama pernah ngrasain gimana rasanya cinta kan? Lagipula sejak kapan Allah nyiptain agama hanya untuk kehancuran umatnya ma?" ucap Mentari. Suaranya semakin getir dan parau.
Raut wajah Lisa berubah menjadi semakin marah mendengar ucapan anaknya itu.
"Tari, mama udah bilang berkali-kali jangan pernah sebut kata papa di hadapan mama! Mama dan papamu itu dulu memang pernah saling mencintai, tapi itu dulu. Cinta buta itu yang membawa mama dalam kehancuran. Kamu nggak tahu kan gimana perasaan mama waktu papamu akhirnya meminta cerai dari mama saat mama masih mengandungmu? Kamu tahu apa sebabnya? Itu karena perbedaan agama diantara kami. Orang tua papamu menyuruhnya untuk segera menceraikan mama dan menikah lagi dengan wanita yang seagama dengannya. Kamu tahu hati mama? Sakit Tari."
Seketika keadaan berubah. Lisa kini diam memandang ekspresi Mentari. Dia sadar bahwa baru saja dia telah mengungkapkan rahasia yang selama ini dia pendam sendiri. Rahasia yang sudah ia tutup-tutupi dari anaknya sejak bertahun-tahun yang lalu. Lisa merasa sangat membenci kejadian itu. Ia trauma dengan apa yang pernah dialaminya. Tiba-tiba Lisa merasa kepalanya pening, tubuhnya menjadi doyong. Ia lari menuju kamarnya tanpa berkata apa-apa lagi pada Mentari.
Mentari sendiri sangat kaget mendengar pengakuan mamanya itu. Ia tidak menyangka ternyata selama ini orang tuanya menikah dengan agama yang berbeda. Ia baru tahu kenapa mamanya mati-matian tidak merestui hubungannya dengan Aldi. Pantas saja mamanya sangat membenci perbedaan agama. Tapi apakah harus dengan cara seperti itu? Mentari merasa ia perlu menenangkan mamanya, namun tidak saat ini.
Di lain pihak, Aldi sedari tadi masih diam mematung di kafe tempat ia terakhir kali bertemu dengan Mentari dan mamanya. Ia masih mencoba berpikir mengapa Mamanya Mentari masih sangat membenci dirinya dan agamanya. Aldi kemudian berlari menuju gereja yang tadi pagi ia gunakan untuk sembahyang. Kali ini ia ingin berdoa untuk yang kesekian kalinya kepada Tuhan. Sesampainya di pelataran gereja, Aldi masih berdiri. Ditatapnya salib besar yang bertengger kokoh diatas bangunan megah gereja dihadapannya itu. Perlahan ia mulai menapakkan kakinya memasuki pintu gereja. Barisan bangku-bangku tersusun rapi disana. Aldi menatap sejenak liturgi ibadah, melanjutkan langkahnya menuju barisan bangku paling depan. Ia mengeratkan kedua tangannya sambil memejamkan mata. Dalam ke khusuan itu ia berdoa.
"Tuhan, lindungilah kekasihku yang beribadah di masjid. Percayalah, dia mencintaiMu. Dia hanya menyebut namaMu dengan sebutan yang berbeda. Tolong Tuhan, satukanlah kami. Buat mamanya agar mengerti terhadap perbedaan yang ada diantara kami. Atas Nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Amin."
Hatinya bergetar. Aldi merasa bahwa Tuhan sedang berada disampingnya, mendengar setiap ucapan yang keluar dari hatinya. Ia percaya Tuhan akan mengabulkan doa umatnya yang tulus.
"Ya Allah, lindungilah mamaku. Lindungi pula kekasihku yang bersembahyang di gereja. Dia juga sangat mencintaiMu, seperti aku, meskipun tempat ibadah kami berbeda. Ya Allah, restuilah kami, satukan kami. Semoga mama pun bisa mengerti. Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhiroti hasanah waqina 'adzabannar. Amin." Mentari mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang tadi ditengadahkan untuk berdoa kepada Allah.
Usai menjalankan sholat magribnya, Mentari pulang menuju rumahnya yang hanya bersebelahan dengan masjid. Dalam hatinya, ia berharap keadaan mamanya saat ini sudah lebih baik. Hal yang paling ia takutkan adalah ketika mamanya marah. Ia tidak tega melihat mamanya seperti itu. Apalagi jika diingat bahwa hanya mamanya lah orang tua yang ia miliki saat ini.
Ketika Mentari membuka pintu rumah, mamanya sudah duduk termangu di sofa ruang tengah. Mentari segera mendekati mamanya dengan hati yang cemas. Ia merasa menyesal telah berdebat dengan mamanya tadi.
"Tari, mama minta maaf." ucap Lisa sambil terisak. "Mama, hanya tidak ingin kamu merasakan sakit seperti yang pernah mama rasakan. Mama tidak ingin kamu hancur." lanjutnya.
"Iya ma, udah mama jangan nangis, Tari nggak tega lihat mama kayak gini. Tari sekarang tahu kok kenapa mama kayak gitu. Tapi jujur ma, Tari terlalu sayang sama Aldi. Aldi itu bukan papa ma, Tari yakin dia nggak akan nglakuin apa yang papa lakuin ke mama. Keluarganya juga udah ngrestuin hubungan Tari sama Aldi kok, ma." jawab Mentari masih berusaha memberikan keyakinan pada mamanya.
"Mama ngerti, Tari. Maaf mama sudah menuruti ego mama sehingga melupakan perasaanmu. Mama harap Aldi bisa membuatmu bahagia." ucap Lisa sembari tersenyum kepada Mentari. Air mata yang mengalir dari pipinya segera ia usap dan ia memeluk Mentari dengan hangat. Pelukan seorang ibu yang sangat menyayangi anaknya.
"Jadi, mama udah ngrestuin hubungan kami ma? Makasih ma, Tari sayang mama." ujar Tari sambil mencium pipi kiri mamanya. Ia begitu bahagia akhirnya apa yang selama ini ia inginkan tercapai. Akhirnya mamanya mau mengerti perbedaan yang terjadi antara dia dan Aldi. Begitu mulianya Allah mengabulkan dan menjawab setiap doa serta penantian umatnya.
Dear papa,
Papa apa kabar? Semoga di sana papa baik-baik aja ya. Pa, papa tahu nggak yang lagi Mentari alami? Mentari serasa dapat keajaiban pa. Mama yang dengan bersikeras menentang hubunganku dan Aldi karena perbedaan agama di antara kami akhirnya hari ini merestui juga. Papa juga merestui kami kan? Papa sama mama juga pasti pernah mengalami saat-saat seperti aku dan Aldi. Berat ya pa rintangan yang harus dilalui. Tapi berkat doa dan usaha Allah membantu Tari mewujudkan keinginan Tari.
Pa, walaupun Mentari nggak pernah tahu papa kayak apa, papa di mana sekarang, tapi Tari harap suatu saat kita bisa ketemu pa. Jangan pernah lupa sama Tari dan mama ya pa. Semoga papa bahagia selalu :).
Salam rindu,
Putrimu
Mentari
Sesungguhnya perbedaan bukanlan sesuatu yang layak untuk kita hindari atau bahkan dijadikan batu sandungan. Justru dari perbedaan itu Tuhan mengajari kita bagaimana cara menghargai orang lain dan bagaimana cara menerima setiap insan ciptaan Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar